Beredarnya film “Innocence of Muslims”menjadi
bukti bahwa dari tahun ke tahun, Barat tidak pernah takut menghina dan
melecehkan Islam. Meskipun umat Islam akhirnya bergejolak, memprotes dan
melawan pihak yang bertanggungjawab terhadap perilisan film tersebut,
tetap saja aksi-aksi itu tidak memberikan dampak besar terhadap counter
perang pemikiran yang dilakukan Barat.
Malah jika respon yang dilakukan umat Islam tidak cerdas, justru akan
memperburuk citra Islam di mata dunia. Menguatkan persepsi bahwa memang
benar Islam itu agama yang sadis, jahat, dan tidak berprikemanusiaan.
Dalam upaya melancarkan serangan ghazwul fikri, Barat tidak pernah
melupakan media film sebagai alat untuk mencitrakan buruk Islam. Dahulu
di Belanda, film Fitna yang disutradarai oleh Geert Wilder
tahun 2008-an juga sempat memicu kecaman diberbagai penjuru dunia. Di
sana Wilder hanya butuh 17 menit saja untuk memutar balik ayat Al-Quran
dengan merepresentasikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan
kekerasan, teror, anti-semitisme, dan sadis terhadap perempuan. Respon
umat Islam ketika juga sama: demonstrasi dimana-mana untuk mengecam
beredarnya film Fitna yang memfitnah umat Islam.
Reaksioner umat Islam
Reaksi umat Islam terhadap film-film yang menghina Islam selama ini
selalu ditunjukkan dengan menggalang aksi protes diberbagai penjuru
dunia yang mayoritas muslim. Bahkan baru-baru ini aksi protes di Libya
dan Mesir sampai merenggut korban jiwa. Di Yaman, protes umat Islam
dilakukan dengan cara membakar bendera Amerika, menghancurkan kedutaan
Amerika dengan melempari batu dan membakar lima mobil yang menerobos
gerbang utama komplek kedutaan.
Memang sebagai seorang Muslim tidak boleh diam begitu saja melihat
musuh-musuh Islam leluasa melecehkan Rasulullah Saw dan syariat yang
dibawanya. Bahkan jika ada seorang muslim yang diam saja melihat
agamanya diinjak-injak oleh musuh, berarti perlu dipertanyakan kembali
tentang keimanan orang tersebut. Dalam kata lain, pemahaman prinsip
al-wala’ wal bara’-nya telah cacat. Maka bereaksi MARAH adalah sebuah
kewajiban bagi siapapun yang mengaku sebagai Muslim.
Namun, reaksi marah yang bagaimanakah yang benar?
Banyak di antara umat Islam yang belum memahami bahwa reaksi-reaksi
berlebihan ketika memprotes film-film penghina Islam tersebut memang
menjadi tujuan dari para pembuatnya. Semakin keras reaksinya, maka
semakin kuat bukti bahwa memang Islam adalah agama kekerasan, sadis dan
syarat dengan terorisme.
Gambaran-gambaran demonstrasi brutal yang dilakukan oleh umat Islam di berbagai perjuru dunia akan dengan mudahnya di-capture oleh
wartawan-wartawan Barat, mengemasnya dalam bentuk berita aktual yang
siap untuk disiarkan di negara mereka masing-masing lengkap bersama
dengan narasi pembenaran tentang citra Islam yang buruk.
Sangat mudah bagi media-media Barat untuk melakukan itu semua. Dalam
sekejap saja, opini buruk tentang Islam justru akan lebih cepat
terbentuk dibandingkan dengan opini tentang jahatnya si produser
film-film anti-Islam tersebut.
Dalam ilmu komunikasi, hal ini dikenal dengan kemampuan media dalam
mencitrakan buruk suatu pihak
hingga pihak tersebut serba salah dalam
bersikap. Jika mereka bereaksi keras, justru membenarkan bahwa isu itu
memang benar. Tapi disisi lain, jika pihak yang disudutkan itu diam
saja, tetap saja akan membuat orang lain berpikir, “Nah kan, mereka
tidak menyangkal. Berarti memang benar seperti itu gambaran dalam film
tersebut.”
Kita harus mengambil pelajaran empat tahun yang lalu, ketika Geert
Wilder justru melejit popularitas dirinya gara-gara film anti-Islam yang
dibuatnya itu. Bahkan konon malah membuat dirinya terpilih dalam pemilu
di negaranya. Reaksi keras yang dilakukan umat Islam seolah justru
‘membantu’ dirinya menjadi lebih populer. Pengunduh film Fitna di
internet semakin membludak. Lagi-lagi keuntungan ada di pihak musuh.
Respon kita seharusnya lebih cerdas
Media film adalah media yang memiliki pengaruh luar biasa dalam
membentuk persepsi di benak audiens-nya. Di Amerika, film bisa
menggantikan posisi orangtua maupun para pendidik di sekolah dalam
mengajarkan segala hal yang dibelum diketahui oleh anak-anak.
Oleh karenanya, film sudah sejak ratusan tahun yang lalu dijadikan
alat Barat untuk memenangkan kepentingan-kepentingannya. Bagi
produsen-produsen film di Barat, film bukan hanya sekedar industri
hiburan semata namun syarat dengan muatan ideologis.
Jika kita mau jeli, ada ratusan film yang diproduksi Hollywood digunakan untuk mencitrakan buruk dunia Arab (baca: Islam).
Jack Shaheen, dalam bukunya berjudul Reel Bad Arab mengatakan
bahwa ada lebih dari 900 judul film sejak 1896 hingga saat ini yang
sengaja dibuat untuk mewajahburukkan orang-orang Arab. Ini berarti
masalah film “Innocence of Muslims” bukanlah isu baru bagi
Barat. Bagi mereka ini hal biasa. Sampai kapanpun, jika bentuk
perlawanan muslim masih sekedar dalam bentuk aksi demonstrasi atau aksi
fisik yang destruktif tetap dilakukan, itu justru membantu mereka dalam
pembenaran citra Islam yang buruk yang sedang mereka bangun dalam
berbagai cinema.
Kita pasti tidak ingin dikenal sebagai umat yang hanya bisa
“menggertak sambal” saja. Pedas, tapi cuma sebentar. Setelah aksi,
besoknya hilang tak berbekas. Tetap saja tidak ada perubahan. Sedangkan
musuh-musuh Islam bermain di ranah yang lebih intelek.
Strateginya disusun dengan sangat rapi. Maka respon yang cerdas,
seharusnya tidak dengan melakukan tindakan destruktif. Perlawanan yang
cerdas adalah dengan mengimbangi kemarahan kita dengan semangat
mempelajari dan membangun media Islam. Meski tidak melarang rasa marah
ketika Nabi kita dihina, sebaiknya pemikiran harus dilawan dengan
pemikiran. Film harus dilawan dengan film. Hegemoni harus di-counter hegemoni juga. Pencitraan harus dilawan dengan pencitraan. Selanjutnya tinggal Allah Ta’ala yang memberi kemenangan. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah Pimred undergroundtauhid.com dan dosen jurusan komunikasi di salah satu perguruan tinggi di Surabaya
sumber: http://www.undergroundtauhid.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar